Pulau Sapeken merupakan pulau berpenduduk paling padat dibanding pulau lain. Kepadatan penduduknya sudah terlihat dari tengah laut. Sebelum perahu sandar, terlihat rumah warga berdempetan di pinggir laut. Dari barat hingga selatan penuh dengan rumah warga yang jaraknya berdekatan.
Pulau Sapeken memiliki pelabuhan paling ramai, yaitu Pelabuhan Lama. Tak jauh dari lokasi itu, toko-toko berjejer menyediakan segala kebutuhan pokok penduduk sekitar. Toko tersebut selalu ramai dari pagi hingga siang. Sapeken merupakan pusat pemerintahan kecamatan sehingga Sapeken juga menjadi pusat perekonomian penduduk sekitar.
Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumenep, Kecamatan/Pulau Sapeken terdiri atas 53 gugus pulau. Sebanyak 21 pulau telah berpenghuni. Sementara 32 pulau lainnya belum ada penghuninya. Nah, kebutuhan pokok warga pulau-pulau berpenghuni tersebut umumnya dipasok dari Sapeken.
Jalan utama Pulau Sapeken bagus. Ruas jalan yang saya lewati dari Pelabuhan Lama menuju Kantor Kecamatan dipaving. Kendaraan umum di pulau ini adalah motor roda tiga merek Viar. Warga setempat menyebut mode transportasi publik tersebut odong-odong.
Dalam keseharian, warga Sapeken berbicara memakai bahasa Bajo logat Sulawesi dan logat Sumbawa. Jarang dijumpai warga asli Sapeken bisa berbahasa Madura. Selain bahasa, budaya Bugis di Sapeken tampak lewat bangunan rumah panggung. ”Bentuk perahu nelayan di Sapeken juga mirip dengan perahu nelayan di Sumbawa dan Sulawesi,” tutur Nuhun.
Masyarakat Sapeken yang terjalin erat dengan kebudayaan Bugis menarik perhatian peneliti dari Jepang. Menurut Nuhun, beberapa waktu lalu ada ilmuwan Jepang melakukan kajian serius tentang genealogi (asa-asul) dan persebaran penggunaan bahasa Bajo di Sapeken. Tidak lama lagi, hasil penelitian ilmuwan Jepang tersebut akan dipublikasikan.
Penduduk Sapeken kebanyakan bekerja di laut menadi nelayan. Ada yang menangkap ikan, ada yang mencari teripang, dan ada pula nelayan yang memelihara ikan kerapu di tengah laut. Tempat memelihara ikan kerapu itu bernama keramba. Di atasnya berdiri rumah kecil sebagai tempat berteduh.
Pulau Sapeken memiliki pelabuhan paling ramai, yaitu Pelabuhan Lama. Tak jauh dari lokasi itu, toko-toko berjejer menyediakan segala kebutuhan pokok penduduk sekitar. Toko tersebut selalu ramai dari pagi hingga siang. Sapeken merupakan pusat pemerintahan kecamatan sehingga Sapeken juga menjadi pusat perekonomian penduduk sekitar.
Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumenep, Kecamatan/Pulau Sapeken terdiri atas 53 gugus pulau. Sebanyak 21 pulau telah berpenghuni. Sementara 32 pulau lainnya belum ada penghuninya. Nah, kebutuhan pokok warga pulau-pulau berpenghuni tersebut umumnya dipasok dari Sapeken.
Jalan utama Pulau Sapeken bagus. Ruas jalan yang saya lewati dari Pelabuhan Lama menuju Kantor Kecamatan dipaving. Kendaraan umum di pulau ini adalah motor roda tiga merek Viar. Warga setempat menyebut mode transportasi publik tersebut odong-odong.
Dalam keseharian, warga Sapeken berbicara memakai bahasa Bajo logat Sulawesi dan logat Sumbawa. Jarang dijumpai warga asli Sapeken bisa berbahasa Madura. Selain bahasa, budaya Bugis di Sapeken tampak lewat bangunan rumah panggung. ”Bentuk perahu nelayan di Sapeken juga mirip dengan perahu nelayan di Sumbawa dan Sulawesi,” tutur Nuhun.
Masyarakat Sapeken yang terjalin erat dengan kebudayaan Bugis menarik perhatian peneliti dari Jepang. Menurut Nuhun, beberapa waktu lalu ada ilmuwan Jepang melakukan kajian serius tentang genealogi (asa-asul) dan persebaran penggunaan bahasa Bajo di Sapeken. Tidak lama lagi, hasil penelitian ilmuwan Jepang tersebut akan dipublikasikan.
Penduduk Sapeken kebanyakan bekerja di laut menadi nelayan. Ada yang menangkap ikan, ada yang mencari teripang, dan ada pula nelayan yang memelihara ikan kerapu di tengah laut. Tempat memelihara ikan kerapu itu bernama keramba. Di atasnya berdiri rumah kecil sebagai tempat berteduh.
Post a Comment